Senin, 28 Juli 2014

Siapa, Dari Apa, Untuk Apa



PENGAJIAN Syeikh Abdul Qadir Al-Jilany, 19 Ramadhan, tahun 545 H. di MadrasahnyaSungguh celaka kamu. Anda telah benar-benar mencampur antara cinta dunia dengan takabur. Dan dua karakter itu tidak akan membawa keberuntungan selama-lamanya, kecuali harus bertobat dari keduanya.
Cerdaslah anda ini. Siapa anda, dari apa anda dicipta, untuk apa pula anda diciptakan? Karena itu jangan sombong. Tidak ada orang yang sombong kecuali orang yang bodoh pada Allah Azza wa-Jalla, bodoh pada Rasulullah saw, pada orang-orang sholeh dari para hambaNya.
Hai orang yang picik akal, anda meraih keluhuran melalui kesombongan? Balikkan, anda pasti benar. Sungguh Nabi Saw, bersabda:
“Siapa yang rendah hati ia akan diangkat derajatnya oleh Allah Azza wa-Jalla, dan siapa yang sombong Allah Azza wa-Jalla akan merendahkannya.” (Hr Ahmad)
Siapa yang rela dengan akhirat ia menjadi yang utama. Siapa yang rela dengan sedikit ia akan meraih yang banyak. Siapa yang rela dengan raha hina di hadapanNya ia akan meraih kemuliaan.
Relalah dengan kekurangan, sampai masalahnya berbalik dalam hakmu dari kerendahan takdirmu, dan anda rela, maka Allah Azza wa-Jalla Sang Maha Kuasa mengangkat anda atas segalanya.
Tawadhu’ (rendah hati) dan adab yang bagus mendekatkan dirimu kepadaNya, sedangkan takabur dan su’ul adab (adab buruk) akan menjauhkan dirimu dari kepatuhan yang bisa memberbaiki dirimu dan mendekatkanmu padaNya, sedangkan maksiat merusak dirimu dan menjauhkanmu dari kepatuhan padaNya.
Anak-anak, jangan sampai mengikutkan agama pada buah tin. Jangan kau ikutkan agamamu dengan buah tin-nya para penguasa, para raja dan orang-orang kaya, serta pemakan harta haram. Bila anda makan dengan memanipulasi agamamu, hatimu bisa menghitam, karena anda telah menyembah makhluk.
Hai orang yang terhinakan, bila ada cahaya di hatimu, pasti engkau memisahkan antara mana yang haram, syubhat dan mubah. Memisahkan mana yang mencerahkan dan mana yang menggelapkan hatimu, mana yang mendekatkanmu dan mana yang menjauhkanmu.
Hai si bodoh, aku tidak kenal kecuali usaha dan tawakkal. Usaha adalah permulaan iman, dan ketika iman kuat langsung meraih dari Allah Azza wa-Jalla, setelah hilangnya perantara antara dirimu dengan DiriNya. Bila iman telah menguat anda mengambil dari Allah Azza wa-Jalla dari tangan makhluk melalui perintahNya.
Makna perantara dimaksud adalah keterpakuan hati pada apa yang ada di tangan makhluk, dan syirik atas apa yang diperintahkan Allah Azza wa-Jalla. Ia meraih dari mereka namun tidak peduli atas pujian mereka, tidak peduli cacian mereka, penerimaan atau penolakan mereka. Bila diberi, ia melihat adanya kinerjanya Allah Azza wa-Jalla pada mereka, begitu juga ketika ditolak.
Begitulah kaum Sufi senantiasa bisu, tuli, dan buta dari segala hal selain Allah Azza wa-Jalla. Tak ada di sisi mereka kecuali Allah Azza wa-Jalla yang menolong dan merendahkan mereka, Dialah yang memberi  dan menghalangi mereka, Dialah yang menimpakan bahaya dan manfaat pada mereka. Isi tanpa kulit dan bening di atas kebeningan, kebaikan di atas kebaikan. Itulah yang keluar dari hati mereka untuk semua makhluk. Karena tidak ada yang tersisa melainkan Allah Azza wa-Jalla. Di dalam lubuk paling dalam hanya tersisa dzikir khafy padaNya, bukan yang lain. Ya Allah, berikanlah kami rizki pengetahuan bersamaMu.
Sungguh celaka anda, karena anda menyangka bahwa anda mampu merias dirimu, kalau saja bukan kepastian niscaya akan turun padamu hai munafik, dan engkau terhinakan. Kalian jangan mengkawatirkan dalam kepalamu, ketika bersamaku. Karena aku tidak malu kecuali karenaNya Azza wa-Jalla, dan kepala orang-orang shaleh.
Seorang hamba ketika mengenal (ma’rifat) kepada Allah Azza wa-Jalla, makhluk berguguran dari hatinya, dan rontok dari hatinya, seperti rontoknya daun-daun kering dari pohon. Lalu secara total hatinya tidak menyisakan makhluk. Dari sisi hati dan rahasia batinnya, buta dari melihat mereka, tuli dari mendengar mereka.
Bila nafsu tenteram, selamatlah dalam menjaga anggota badan, lalu hati bisa pergi menuju Al-Haq Azza wa-Jalla mencari yang dari sisiNya, lalu keluar ke dunia dan mengendalikan diri, menegakkan kebaikan di dunia.
Itulah kebiasaan Allah Azza wa-Jalla dan kinerjaNya bagi orang yang sedang mencariNya. Dunia datang di saat bertepatan dengan bagian yang ia dapatkan dalam rupa perempuan tua bangka beruban yang lunglai , dunia mengabdi padanya bukan, dan ia meraihnya tidak dengan kegembiraan, karena hatinya tidak di dunia dan tidak menoleh sedikit pun pada dunia.
Anak-anak sekalian, kosongkan hatimu demi Tuhanmu, sibukkan jasadmu dan nafsumu dengan serius mengurus keluarga, sehingga anda bekerja melalui perintahNya dan anda beraktivitas untuk mereka melalui tindakanNya. Diamlah di hadapan Allah Azza wa-Jalla. Tidak meminta padaNya disertai kesabaran dan kerelaan lebih utama ketimbang meminta dan dan terus menerus meminta. Hapuslah pengetahuanmu dengan memilih pengetahuanNya, tinggalkan rekayasa pengaturanmu dan memilih aturan dariNya. Putuskan hasratmu karena hasratNya. Lepaskanlah akalmu ketika ketentuan dan takdirnya tiba. Lakukan itu semua bila anda menguingkanNya sebagai Tuhan, sebagai Penolong dan sebagai Tempat berserah.
Seharusnya anda tenang di hadapanNya bila anda ingin wushul (sampai) padaNya. Orang beriman itu intuisi dan hasrat citanya manunggal, karena tak ada yang tersisa melainkan intusi Allah Azza wa-Jalla pada hatinya, sedang ia tetap bersimpuh di pintu kedekatan padaNya Azza wa-Jalla.
Apabila kamantapan ma’rifatnya padaNya kokoh, maka terbukalah pintu, ia akan berhasil, lalu ia melihat apa yang tak mampu untuk diungkapkan. Intuisi itu bagi qalbu, sedangkan isyarat adalah ucapan tersembunyi dari dalam rahasia qalbu (sirr) yang telah fana’ dari nafsu dan hawa nafsunya serta akhlaknya yang tercela, dan sirna dari seluruh makhluk dalam suasana kesejahteraan, kesehatan, kebaikan dan kenikmatan. Dialah Sang pembolak balik hati yang menggerakkan segalanya, seperti pada Ashhabul Kahfi, Allah Azza wa-Jalla  berfirman:
“Dan Kami membolak-balik kearah kanan dan kiri.” (Al-Kahfi 18)
Anak-anak sekalian…Dengarkan ini semua, dan berimanlah dengan semua itu, jangan klau dustai, jangan pula kau halangi dirimu dari  kebajikan yang dating dari berbagai arah.

 http://sufinews.com/index.php/Pengajian/siapa-dari-apa-untuk-apa.sufi

Rabu, 12 Maret 2014

HIKMAH BURUNG BEO


Bismillahirrohmanirrohiim

Alkisah di sebuah pesantren, Seorang Ustadz memiliki burung sejenis Beo yang terlatih untuk berdzikir seperti: Assalamu'alaikum, Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, dan lainnya

Suatu hari, pintu kurungan terbuka & burung itu terbang bebas. Sontak para santri mengejar burung milik guru mereka, sementara si burung terbang tidak terkontrol dan tertabrak kendaraan yang melintas dengan kencang hingga terkapar sekarat lalu meninggal

Sang Ustadz terlihat berbeda usai burungnya mati, nampak sekali sedih hingga seminggu lamanya. Para santri yang melihatnya pun mengira Ustadz nya bersedih karena burungnya mati, mereka berkata:

"Ustadz, jika hanya burung yang membuat ustadz sedih, kami sanggup menggantinya dengan yang bisa berdzikir juga. Tak perlu ustadz bermurung hingga sedemikian lamanya!"

Sang Ustadz menjawab: "Aku bukan bersedih karena burung itu."

Para Santri: "Lantas kenapa ustadz?"

Sang Ustadz: "Kalian melihat bagaimana burung itu sekarat setelah tertabrak?"

Para Santri: "Ya, kami melihatnya."

Sang Ustadz: "Burung itu hanya bersuara KKKKAAKK, KKKKHHEEK, KKKKAAKK, KKKKHHEEK,,, padahal sudah terlatih berdzikir sedemikian rupa, namun saat merasakan PERIHNYA sakaratul maut menjemput, hanya perih yang terasa.

Lalu aku teringat diriku, yang setiap hari terbiasa berdzikir, JANGAN-JANGAN NASIBKU SAMA SEPERTI BURUNG ITU, TAK KUAT MENAHAN SAKARAT LALU BUKAN DZIKIR YANG KUUCAPKAN.

Padahal burung itu tidak diganggu setan saat sakaratul maut, sedangkan manusia diganggu setan saat sakaratul maut. Tidak ada yang tahu bagaimana keadaan kita mati, khusnul khotimah ataukah su'ul khotimah?"

Para Santri pun terdiam dan membenarkan Sang Ustadz, dan mereka pun ikut murung memikirkan hal yang serupa dengan Ustadz-nya.:

Lalu bagaimana keadaan kita saat menjemput sakaratul maut nanti ?

SUBHANALLAH...

Semoga ALLAH senantiasa membimbing kita dalam keadaan iman dan bertakwa sampai ajal menjemput. Aamiin 

Wallahu a`lam

Jumat, 07 Maret 2014

Haruskah Salik Menjalani Bai'at?


Prof Dr Nasaruddln Umar

Janji setia dari calon murid atau salik kepada mursyid biasa disebut baiat atau talqin. Dalam suatu tarekat, baiat adalah sesuatu yang lazim. Biasanya yang melakukan proses baiat ialah mursyid kepada salik. Sebelum ke proses pembaiatan, umumnya diawali perkenalan dan penjelasan langkah-langkah yang harus ditempuh jika kelak resmi menjadi murid.

Seorang calon salik diperkenalkan berbagai syarat dan ketentuan internal tarekat, misalnya kesediaan murid menyempurnakan ibadah syariah, patuh kepada mursyid, aktif dan telaten melakukan riyadhah, serta berusaha meninggalkan rutinitas duniawi, lalu memasuki wilayah tasawuf dengan menginternalisasikan sifat-sifat utama seperti sabar, tawakal, qanaah, dan syukur.

Ia secara perlahan-lahan dibimbing untuk meninggalkan dominasi eksoterisme dan memasuki wilayah esoterisme dalam beribadah. Ia dituntut berkontemplasi guna lebih banyak mengenal alam rohani, dan pada akhirnya salik berusaha respek dan mencintai mursyidnya. Bagaikan sahabat yang mencintai rasulnya.

Sang calon salik juga berlatih menumbuhkan rasa cinta (mahabbah) dan harapan besar [raja). Jika dia diyakini memiliki kemampuan untuk lanjut sebagai salik, mursyid akan membaiatnya. Prosesnya, ada yang sederhana ada juga yang lebih rumit. Ini semua bergantung pada ketentuan yang berlaku dalam sebuah tarekat.

Terkadang ada yang berbulan-bulan atau tahunan tetapi belum dibaiat. Sementara ada yang hanya beberapa hari tinggal bersama langsung dibaiat. Bergantung intensitas dan kesiapan calon murid menempa diri. Dasar hukum pelaksanaan baiat ini dihubungkan dengan surah al-Fath ayat 10.

Ayat tersebut berbunyi "Orang-orang yang berjanji setia kepadamu, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Tuhan di atas tangan mereka. Barang siapa melanggar janjinya, niscaya akibat dia melanggar janji itu akan menimpa dirinya. Dan barang siapa menetapi janjinya kepada Allah, Allah akan memberinya pahala yang besar."

Idealnya, baiat itu mengikat, apalagi komitmen ini bertujuan positif sebagaimana ditegaskan Allah SWT, "Tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kalian berjanji, dan janganlah kalian membatalkan sumpah-sumpah kalian". (QS al-Nahl [16] 91). "Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti akan diminta pertanggungjawabannya". (QS al-Isra [17] 34).

Di dalam hadis ditemukan sejumlah riwayat yang mengajarkan konsep baiat bagi mereka yang akan menjadi pengikut khusus Rasulullah. Seperti hadis riwayat Bukhari dari Ubaidah bin Samit. Rasulullah bersabda, "Berjanjilah kalian kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu,tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak membuat kebohongan di antara tangan dan kaki kalian, dan tidak mendurhakai aku dalam kebaikan. Barang siapa di antara kalian menepati janji ini, dia akan mendapatkan pahala dari Allah. Barang siapa yang melanggar sebagian darinya lalu Allah menutupinya, hukumannya bergantung pada Allah. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengam-puninya. Dan jika tidak. Dia akan menghukumnya". Maka kami pun membaiat beliau dengan hal itu. (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).

Bentuk baiat dan lafal yang pernah dilakukan Rasulullah kepada para sahabatnya berbeda-beda. Baiat secara kolektif dan individu pernah dilakukan Rasul. Contoh baiat kolektif dilakukan beliau kepada beberapa sahabatnya diungkapkan oleh Syadad bin Aus.

"Pada suatu hari, pernah ada beberapa orang berada di hadapan Rasulullah. Saat itu Rasul bertanya, apakah di antara kalian ada orang asing-maksudnya ahli kitab. Kami jawab tidak ada. Lalu, beliau menyuruh kami menutup pintu dan berucap, angkatlah tangan kalian dan ucapkan La Haha illallah (Tiada Tuhan selain Allah). Kemudian, Rasulullah bersabda, Segala puji hanya bagi Allah. Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengutusku dengan kalimat ini. Engkau menyuruhku untuk mengamalkan-nya. Dan Engkau menjanjikan surga kepadaku dengannya. Ketahuilah bahwa aku membawa kabar gembira untuk kalian. Sesungguhnya Engkau tidak akan menyalahi janji. Lalu beliau bersabda, Ketahuilah bahwa aku membawa kabar gembira untuk kalian. Sesungguhnya Allah telah memberi ampunan kepada kalian." (Hadis riwayat Ahmad).

Sedangkan, contoh baiat secara individu terungkap melalui hadis yang diriwayatkan Thabrani. Baiat ini terjadi ketika Ali bertanya kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku jalan yang paling dekat menuju Allah, yang paling mudah untuk beribadah kepada-Nya dan paling utama di sisi-Nya."

Lalu, Rasulullah menjawab agar Ali melanggengkan zikir kepada Allah secara rahasia dan terang-terangan. Ali meresponsnya dengan mengatakan bahwa semua orang melakukan zikir dan ia berharap diberi zikir khusus. "Hal paling utama dari apa yang aku ucapkan dan para nabi sebelum aku adalah kalimat La Haha illallah," demikian jawaban Rasulullah.

Seandainya langit dan kalimat ini ditimbang, kata Rasul, maka kalimat ini lebih berat daripada langit. Kiamat tidak terjadi selama di bumi masih ada orang yang mengucapkan kalimat itu. Ali bertanya kembali, bagaimana cara mengucapkannya. Rasul menjawab, " Pejamkanlah kedua matamu dan dengarkanlah aku La Haha illallah, diucapkan tiga kali. Ucapkanlah tiga kali kalimat itu dan aku mendengarkannya." Ali mengucapkannya dengan keras.

Ditemukan banyak lagi hadis yang menerangkan cara pembaiatan kepada orang dan kelompok. Setelah Rasulullah wafat, pembaiatan terus dilakukan oleh para sahabat. Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali pernah membaiat orang dan kelompok. Tradisi itu dilanjutkan oleh para praktisi tarekat sampai saat ini.

Baiat di sini bukan baiat politik seperti Baiatul Aqabah kaum Anshar atau baiat sebagai tanda pengakuan kekuasaan terhadap seorang pemimpin. Ini adalah baiat spiritual yang dimana seseorang atau kelom-pok orang menyatakan janji suci kepada Allah untuk hidup sebagai orang yang saleh/salehah di depan mursyidnya.

Pertanyaan yang mendasar tentang baiat ini, mestikah seseorang dibaiat? Bagaimana dengan orang-orang yang memilih hidup di luar tarekat, yang di sana tidak umum dikenal ada baiat atau talqin? Apakah keislaman tidak sempurna tanpa baiat atau talqin? Tidak ada kesepahaman para ulama tentang wajibnya baiat.

Baiat di dunia tarekat bisa diperbarui seandainya seseorang memerlukan pengisian kembali (recharging) energi spiritual dari mursyid. Namun perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa mursyid bukan santo atau lembaga pastoral yang dapat atas nama Tuhan memberikan pengampunan dosa terhadap jamaah.

Fungsi mursyid sebagaimana telah diuraikan dalam artikel terdahulu hanya berfungsi sebagai motivator dan tutor yang dipercaya! salik. Banyak cara orang untuk memperoleh ketenangan dan sekaligus motivasi untuk menggapai rasa kedekatan diri dengan Tuhan. Salah satu di antaranya ialah menyatakan komitmen spiritual kepada Tuhan di depan atau melalui mursyid yang dipilih.

Jika pada suatu saat mengalami krisis spiritual, ia merasa sangat terbantu oleh kehadiran sahabat spiritual yag berfungsi sebagai konsultan spiritualnya. Tentu, sekali lagi bukan memitoskan atau mengultuskan seseorang. Tetapi secara psikologis, setiap orang pada dasarnya membutuhkan referensi personal untuk mengatasi kelabilan hidupnya.

Ini bukan bidah karena memiliki dasar yang kuat dalam Alquran dan hadis. Namun tidak berarti bagi mereka yang tidak pernah menjalani baiat, keislamannya bermasalah, sebab baiat bukan sesuatu yang wajib.

http://gemuruhsepi.blogspot.com/search/label/Haruskah%20Salik%20Menjalani%20Bai%27at%3F


Jumat, 28 Februari 2014

Al-Imam SARI AS-SAQATHI


Bismillahirrohmanirrohiim

Orang-orang mengatakan bahwa Sari As-Saqathi yang nama lengkapnya adalah Abul Hasan Sari bin al-Mughallis as-Saqathi adalah murid Ma’ruf al-Karkhi dan paman Junaid al-Baghdadi. Beliau adalah seorang tokoh sufi yang terkemuka di Baghdad dan pernah mendapat tantangan dari Ahmad bin Hambali. Mula-mula ia mencari nafkah dengan berdagang barang-barang bekas dan ia meninggal pada tahun 253 H/867 M dalam usia 98 tahun.

KEHIDUPAN SARI AS-SAQATHI

Sarri as-Saqathi adalah orang yang pertama sekali mengajarkan kebenaran mistik dan ”peleburan”(fana) sufi di kota Baghdad. Kebanyakan syeikh-syeikh sufi di negeri Iraq adalah murid-murid Sari as-Saqathi.
la adalah paman Junaid dan murid Ma’ruf al-Karkhi. Ia juga pernah bertemu dengan Habib ar-Ra’i. Pada mulanya Sari tinggal di kota Baghdad di mana ia mempunyai sebuah toko. Setiap hari apabila hendak shalat, digantungkannya sebuah tirai di depan pintu tokonya.
Pada suatu hari datanglah seseorang dari gunung Lukam mengunjunginya. Dengan menyibakkan tirai itu ia mengucapkan salam kepada Sari dan berkata:
“Syeikh dari gunung Lukam mengirim salam kepadamu”.
Sari menyahut; “Si syeikh hidup menyepi di atas gunung dan oleh karena itu segala jerih payahnya tidak bermanfaat. Seorang manusia harus dapat hidup di tengah keramaian dan mengkhusyukkan diri kepada Allah sehingga kita tidak pernah lupa kepada-Nya walau sesaat pun”.

Diriwayatkan, di dalam berdagang itu Sari tidak pernah menarik keuntungan melebihi lima persen. Pada suatu ketika Sari membeli buah-buahan badam seharga enam puluh dinar. Pada waktu harga buah badam sedang naik, seorang pedagang perantara datang menemui Sari.
“Buah-buah badam ini hendak kujuaI”, Sari berkata kepadanya.
“Berapakah harganya?”, tanya si perantara.
“Enam puluh enam dinar”.
“Tetapi harga buah badam pada saat ini sembilan puluh dinar”, si perantara berkeberatan.
“Sudah menjadi peraturan bagi diriku untuk tidak menarik keuntungan lebih dari lima persen”, jawab Sari,
“Dan aku tidak akan melanggar peraturan sendiri”.
“Dan aku pun tidak merasa pantas untuk menjual barang-barangmu dengan harga kurang dari sembilan puluh dinar”,
sahut di pedangang perantara.
Akhirnya si perantara tidak jadi menjualkan buah-buahan Sari.

ooo

Pada mulanya Sari menjual barang-barang bekas. Pada suatu hari pasar kota Baghdad terbakar.
“Pasar terbakar!”, orang-orang bertariak. Mendengar teriakan-teriakan itu berkatalah Sari: “Bebaslah aku sudah!”
Setelah api reda ternyata toko Sari tidak termakan api. Ketika mendapatkan kenyataan ini Sari menyerahkan segala harta bendanya kepada orang-orang miskin. Kemudian ia mengambil jalan kesufian.

ooo

“Apakah yang menyebabkan engkau menjalani kehidupan spiritual ini”, seseorang bertanya kepada Sari. Sari menjawab: “Pada suatu hari Habib ar-Ra’i lewat di depan tokoku. Kepadanya kuberikan sesuatu untuk disampaikan kepada orang-orang miskin. ’Semoga Allah memberkahi engkau`, Habib ar-Ra`i mendoakan diriku. Setelah ia mengucapkan doa itu dunia ini tidak menarik hatiku lagi”.
“Keesokan harinya datanglah Ma’ruf Karkhi beserta seorang anak yatim.
’Berikanlah pakaian untuk anak ini’, pinta Ma’ruf kepadaku. Maka anak itu pun kuberi pakaian.
Kemudian Ma’ruf berkata; ’Semoga Allah membuat hatimu benci kepada dunia ini dan membebaskanmu dari pekerjaan ini’. Karena kemakbulan doa Ma’ruf itulah aku dapat meninggalkan semua harta kekayaanku di dunia ini”.

SARI DAN SEORANG ANGGOTA ISTANA
Pada suatu hari ketika Sari sedang memberikan ceramah. Salah seorang di antara sahabat-sahabat intim khalifah, Ahmad Yazid si jurutulis lewat dengan pakaian kebesaran yang megah diiringi oleh para hamba dan pelayan-pelayannya.
“Tunggulah sebentar, aku hendak mendengarkan kata-katanya”, kata Yazid kepada para pengiringnya.
“Kita telah mengunjungi berbagai tempat yang membosankan dan yang seharusnya tak perlu kita datangi”. Ahmad Yazid pun masuk dan duduk mendengarkan ceramah Sari.
Sari berkata: “Di antara kedelapan belas ribu dunia itu tidak ada yang lebih lama daripada manusia, dan di antara semua makhluk ciptaan Allah tidak ada yang lebih mengingkari Allah daripada manusia. Jika ia baik maka ia terlampau baik sehingga malaikat-malaikat sendiri iri kepadanya.
Jika ia jahat maka ia terlampau jahat sehingga syaithan sendiri malu untuk bersahabat dengannya. Alangkah mengherankan, manusia yang sedemikian lemah itu masih mengingkari Allah yang sedemikian perkasa!”
Kata-kata ini bagaikan anak panah dibidikkan Sari ke jantung Ahmad. Ahmad menangis dengan sedihnya sehingga ia tak sadarkan diri. Setelah sadar ia masih menangis Ahmad bangkit dan pulang ke rumahnya. Malam itu tak sesuatu pun yang dimakannya dan tak sepatah kata pun yang diucapkannya.
Keesokan harinya dengan berjalan kaki, ia pun pergi pula ke tempat Sari berkhotbah. Ia gelisah dan pipinya pucat. Ketika khotbah selesai ia pun pulang. Di hari yang ketiga, ia datang berjalan kaki, ketika ceramah selesai ia menghampiri Sari.
“Guru”, ucap Ahmad kata-katamu telah mencekam hatiku dan membuat hatiku benci terhadap dunia ini. Aku ingin meninggalkan dunia ini dan mengundurkan diri dari pergaulan ramai. Tunjukkanlahkepadaku jalan yang ditempuh para khalifah”.
“Jalan manakah yang engkau inginkan”, tanya Sari. “Jalan para sufi atau jalan hukum?
Jalan yang ditempuh orang banyak atau jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan?”
“Tunjukkanlah kedua jalan itu kepadaku”, Yazid meminta kepada Sari.

Maka berkatalah Sari: “Inilah jalan yang ditempuh orang banyak. Lakukanlah shalat lima kali dalam sehari di belakang seorang imam, dan keluarkanlah zakat – jika dalam bentuk uang, keluarkanlah setengah dinar dari setiap dua puluh dinar yang engkau miliki. Dan inilah jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan, berpalinglah dari dunia ini dan janganlah engkau terperesok ke dalam perangkap-perangkapnya. Jika kepadamu hendak diberikan sesuatu, janganlah terima. Demikianlah kedua jalan tersebut”.
Yazid meninggalkan tempat itu dan mengembara ke padang belantara. Beberapa hari kemudian seorang perempuan tua yang berambut kusut dengan bekas-bekas luka di pipinya datang menghadap Sari dan berkata:
“Wahai imam kaum Muslimin. Aku mempunyai seorang putera yang masih remaja dan berwajah tampan. Pada suatu hari ia datang untuk mendengarkan khotbahmu dengan tertawa-tawa dan langkah-langkah yang gagah tetapi kemudian pulang dengan menangis dan meratap-ratap. Sudah beberapa han ini ia tidak pulang dan aku tidak tahu kemana perginya. Hatiku sedih karena berpisah dari dia, Tolong, lakukanlah sesuatu untuk diriku”,
Permohonan wanita tua itu menggugah hati Sari. Maka berkatalah ia: “Janganlah berduka. Ia dalam keadaan baik. Apabila ia kembali, niscaya engkau akan kukabarkan. Ia telah meninggalkan dan berpaling dari dunia ini. Ia telah bertaubat dengan sepenuh hatinya”.
Beberapa lama telah berlalu. Pada suatu malam, Ahmad kembali kepada Sari. Sari memerintahkan kepada pelayannya, “Kabarkanlah kepada ibunya”. Kemudian ia memandang Ahmad. Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, dan badannya yang jangkung kokoh bagaikan pohon cemara itu telah bungkuk.
“Wahai guru yang budiman”, Ahmad berkata kepada Sari, “Karena engkau telah membimbingku ke dalam kedamaian dan telah mengeluarkan aku dari kegelapan, aku berdoa semoga Allah memberikan kedamaian dan menganugerahkan kebahagiaan kepadamu di dunia dan di akhirat”.
Mereka sedang asyik berbincang-bincang ketika ibu dan isteri Ahmad masuk. Mereka juga membawa puteranya yang masih kecil. Ketika si ibu melihat Ahmad yang sudah berubah sekali keadaannya ia pun menubruk dada Ahmad. Di kiri kanannya isterinya yang meratap-ratap dan anaknya yang menangis tersedu-sedu. Semua yang menyaksikan kejadian ini ikut terharu dan Sari sendiri pun tidak dapat menahan air matanya.
Si anak merebahkan diri ke haribaan ayahnya. Tetapi betapa pun juga mereka membujuk, Ahmad tidak mau pulang ke rumah.
“Wahai Imam kaum MusIimin”, Ahmad berseru kepada Sari, “mengapakah engkau mengabarkan kedatanganku ini kepada mereka? Mereka inilah yang akan meruntuhkan diriku”.
Sari menjawab: “Ibumu terus menerus bermohon sehingga akhirnya aku berjanji untuk mengabarkan kepadanya apabila engkau datang”.
Ketika Ahmad bersiap-siap hendak kembali ke padang pasir isterinya meratap: “Belum lagi, engkau telah membuatku jadi janda dan puteramu jadi yatim, Jika ia ingin bertemu dengan engkau apakah yang akan kulakukan? Tidak ada jalan lain, bawalah anak ini olehmu”.
“Baiklah”, jawab Ahmad.
Pakaian indah yang sedang dikenakan anaknya itu dilepaskannya dan digantinya dengan bulu domba. Kemudian ditaruhnya sebuah kantong uang ke tangan anak itu dan berkatalah ia kepada anaknya itu:
“Sekarang, pergilah engkau seorang diri”
Melihat hal ini si isteri menjerit: “Aku tidak sampai hati membiarkannya”, dan anak itu ditariknya ke dalam dekapannya.
“Aku memberikan kuasa kepadamu”, kata Ahmad kepada isterinya, ’Jika engkau menginginkan, untuk menuntut perceraian”.
Maka kembalilah Ahmad ke padang belantara. Bertahun-tahun telah berlalu. Kemudian pada suatu malam, pada waktu shalat Isya, seseorang mendatangi Sari di tempat kediamannya. Orang itu berkata kepada Sari:
“Ahmad mengutus aku untuk menjumpai engkau. Ia berpesan: ’Hidupku hampir berakhir. Tolonglah aku”.
Sari pergi ke tempat Ahmad. Ia menemukan Ahmad yang sedang terbaring di atas tanah di dalam sebuah pemakaman. Ia sedang menantikan saat-saat terakhirnya. Lidahnya masih bergerak-gerak. Sari mendengar bahwa Ahmad sedang membacakan ayat yang berbunyi: “Untuk yang seperti ini bekerjalah wahai para pekerja”.
Sari mengangkat kepalanya dari atas tanah, mengusapkan dan mendekapkan ke dadanya, Ahmad membuka matanya, terlihatlah olehnya sang syeikh, dan berkatalah ia:
“Guru, engkau datang tepat pada waktunya. Hidupku akan berakhir sesaat lagi”.
Sesaat kemudian ia menghembuskan napasnya yang terakhir. Sambil menangis Sari kembali ke kota untuk menyelesaikan urusan- urusan Ahmad. Di dalam perjalanan ini ia menyaksikan orang ramai berbondong-bondong berjalan ke arah luar kota.
“Hendak ke manakah kalian?” Sari bertanya kepada mereka.
“Tidak tahukah engkau?”, jawab mereka. “Kemarin malam terdengar sebuah seruan dari atas langit:
’Barangsiapa ingin menshalatkan jenazah sahabat kesayangan Allah, pergilah ke pemakaman di Syuniziyah!’ “.

ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI SARI
Junaid meriwayatkan sebagai berikut ini.
Pada suatu hari aku mengunjungi Sari dan kutemui ia sedang mencucurkan air mata. Aku bertanya kepadanya,”Apakah yang telah terjadi?”
Sari menjawab: “Aku telah berminat bahwa malam ini aku hendak menggantungkan sekendi air untuk didinginkan.
Di dalam mimpi aku bertemu dengan seorang bidadari. Aku bertanya, siapakah yang memilikinya dan ia menjawab:
’Aku adalah milik seseorang yang tidak mendinginkan air dengan menggantungkan kendi’. Setelah itu si bidadari menghempaskan kendiku ke atas tanah. Saksikanlah olehmu sendiri!”
Kulihat pecahan-pecahan kendi yang berserakan di atas tanah. Pecahan-pecahan itu dibiarkan saja di situ untuk waktu yang lama.

ooo

Dalam kisah lain Junaid meriwayatkan. “Pada suatu malam aku tertidur nyenyak. Ketika aku terjaga, batinku mendesak agar aku pergi ke Masjid Syuniziyah. Maka pergilah aku. Tetapi di depan masjid itu terlihatlah olehku seseorang yang berwajah sangat menakutkan. Aku menjadi gentar.
Orang itu menegurku:
“Junaid, takutkah engkau kepadaku?”
“Ya”, jawabku.
“Seandainya engkau mengenal Allah sebagaimana yang seharusnya, niscaya tak ada sesuatu pun yang engkau takutkan selain dari pada Dia”.
“Siapakah engkau?”, aku bertanya. “Iblis”,jawabnya.
“Aku pernah ingin bertemu dengan engkau”, aku berkata kepadanya.
“Begitu engkau berpikir tentang aku, tanpa engkau sadari, engkau lupa kepada Allah.
Apakah maumu untuk bertemu dengan aku?” tanya si Iblis.
“Ingin kutanyakan kepadamu, apakah engkau dapat memperdayakan orang-orang faqir?”
“Tidak”, jawab si Iblis.
“Mengapakah demikian?”
Si Iblis menjawab: “Apabila aku hendak menjerat mereka dengan harta kekayaan dunia, mereka lari ke akhirat.
Apabila aku hendak menjerat mereka dengan akhirat, mereka lari kepada Allah, dan di situ aku tidak dapat mengejar mereka lagi”.
“Dapatkah engkau melihat manusia-manusia yang tak dapat engkau perdayakan?”
“Ya, aku melihat mereka”, jawab si Iblis, “Dan apabila mereka berada di dalam keadaan ekstase/fana, dapatlah kulihat sumber keluh-kesah mereka itu”.
Setelah berkata demikian, si iblis menghilang. Aku masuk ke dalam masjid dan di sana kudapati Sari yang sedang menekurkan kepala ke atas kedua lututnya. “Dia telah berdusta, seteru Allah itu”, Sari berkata sambil mengangkat kepalanya. “Manusia-manusia seperti itu terlampau disayangi Allah untuk diperlihatkan kepada Iblis”.

ooo

Sari mempunyai seorang saudara perempuan yang pernah meminta izin untuk menyapu kamarnya namun ditolaknya.
“Hidupku tidak patut diperlakukan seperti itu”, Sari berkata kepada saudara perempuannya itu.
Pada suatu hari ia memasuki kamar Sari dan terlihatlah olehnya seorang wanita tua sedang menyapu.
“Sari, dulu engkau tidak mengizinkan aku untuk mengurus dirimu, tetapi sekarang engkau membawa seseorang yang bukan sanak familimu”.
Sari menjawab: “Janganlah engkau salah sangka. Dia adalah penduduk alam kubur, Ia pernah jatuh cinta kepadaku, namun kutolak. Maka ia meminta izin kepada Allah yang Maha Besar untuk menyertai diriku, dan kepadanya Allah memberikan tugas untuk menyapu kamarku”.[]

Sumber Tulisan:
Diketik Ulang dari buku “Warisan Para Aulia” karya Fariduddin Al-Attar,Penerbit Pustaka, Bandung, 2000.
http://biografiparasufi.wordpress.com

Kamis, 27 Februari 2014

Aku Tidak Berharap Surga dan Neraka


Aku Tidak Berharap Surga dan Neraka
-------------------------------
Seorang lelaki bertanya kepada Imam Abu Hanifah, ”Bagaiman pendapatmu tentang seseorang yang berkata: ”Aku tidak berharap surga, tidak takut neraka, aku suka makan bangkai, aku bersaksi terhadap apa yang tidak aku lihat, aku tidak takut kepada Allah, aku shalat tanpa ruku dan sujud, aku tidak menyukai kebenaran dan aku menyukai fitnah.”

Jawab Imam Abu Hanifah kepada penanya yang ternyata penanya tersebut adalah orang yang sangat membenci Imam Abu Hanifah, ”Wahai fulan, engkau bertanya kepadaku tentang masalah ini, padahal engkau sendiri telah mengetahui jawabannya.”
awab lelaki itu, ”Aku tidak mengetahui, tapi aku tidak mendapati sesuatu yang lebih buruk daripada pertanyaan ini, karena itu aku bertanya kepadamu.”
Kata Imam Abu Hanifah kepada kawan-kawannya, ”Bagaimana pendapat kalian tentang lelaki ini?” Jawab mereka, ”lelaki ini adalah seburuk-buruk orang karena sifatnya sebagai orang kafir.” Mendengar jawaban mereka Imam Abu Hanifah tersenyum seraya berkata, ”Sungguh kalian telah menilainya sangat buruk, padahal ia seorang wali Allah.”
Kemudain Imam Abu Hanifah berkata kepada lelaki itu, ”Jika aku mengatakan kepadamu engkau termasuk wali Allah, apakah engkau tidak akan memusuhi aku lagi?” Jawab lelaki itu, Ya.”
Kata Imam Abu Hanifah, ”Adapun ucapan tidak berharap surga dan tidak takut kepada neraka, karena engkau hanya berharap kepada Tuhan Allah pemilik surga dan takut kepada Tuhan Allah pemilik neraka, adapun ucapanmu engkau tidak takut kepada Allah maksudnya, engkau tidak takut dizalimi oleh Allah, karena Allah tidak pernah menzalimi hamba-Nya, seperti yang diucapkan Allah bahwa Tuhanmu tidak pernah menzalimi hamba-Nya sedikitpun, kemudian maksud ucapan mu suka makan bangkai adalah engkau suka makan ikan laut (ikan laut adalah bangkai), adapun maksud ucapanmu tidak pernah ruku dan sujud ketika shalat adalah ketika engkau memperbanyak bershalawat kepada Nabi SAW, ia selalu melazimi tempat-tempt orang mati untuk menshalati mereka, karena beliau SAW suka mengambil pelajaran dari orang mati sehingga tidak banyak angan-angan dan beliau SAW suka menshalati setiap muslim dan muslimat, suka mendoakan mereka yang masih hidup maupung yang sudah mati, kemudian maksud ucapanmu menyaksikan sesuatu yang tidak pernah engkau lihat adalah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya, adapun maksudmu engkau membenci kebenaran adalah engkau membenci kematian, karena engkau masih ingin hidup lama agar selalu menaati Allah, adapun maksudmu membenci kebenaran mempunyai arti engkau membenci kematian, karena kematian adalah kebenaran, adapun maksud ucapanmu menyukai fitnah mempunyai arti bahwa setiap hati suka kepada harta dan anak, karena keduanya adalah ujian yang sangat besar bagi orang yang beriman, seperti yang disebutkan dalam firman Allah SWT, ”Sesungguhnya harta dan anak-anakmu adalah cobaan.” (Q.S. Al-Anfaal: 28)
Maka lelaki itu tidak lagi membenci Imam Abu Hanifah r.a dan ia bertaubat kepada Allah SWT.

Wallahu A`lam..
http://ahlulkisa.com/

Adab Ketika Sedikit Dunia Terbuka Bagi Mereka


Adab Ketika Sedikit Dunia Terbuka Bagi Mereka
===========================
Syeikh Abu Nashr as-Sarraj
-------------------
Abu Ya’qub an-Nahrajuri berkata: Saya mendengar Abu Ya’qub as-Susi berkata: Ada seorang fakir datang kepada kami, saat itu kami sedang berada di ar-Rajan. Sementara itu, Sahl bin Abdullah juga berada di sana. Lalu si fakir tersebut berkata pada

kami, “Kalian adalah orang-orang yang biasa memberi bantuan. Saat ini kami sedang ditimpa bencana.” Maka Sahl bin Abdullah berkata, “Dalam daftar bencana telah tercatat sejak Anda memperlihatkan masalah ini. Lalu apa bencana itu?” la menjawab, “Dibukakan pada kami pintu dunia, dan aku gunakan hanya untuk diri sendiri tanpa peduli pada keluarga dekatku. Hingga saya kehilangan iman dan kondisi spiritual.” Sahl berkata kepada Abu Ya’qub, “Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini?” Abu Ya’qub menjawab, “Bencana dalam kondisi spiritualnya lebih berat dari pada bencana dalam imannya.” Lalu Sahl berkata, “Orang seperti Anda yang pantas mengatakan ini.”
Dikisahkan dari Khair an-Nassaj -rahimahullah -yang berkata: Aku pernah masuk di sebagian masjid. Ternyata di situ ada seorang fakir yang aku mengenalnya. Ketika melihatku la langsung merangkulku dan menangis sembari berkata, “Wahai syekh kasihanilah aku, karena cobaanku sangat berat!” Lalu aku bertanya, “Wahai fulan, apakah cobaan yang Anda maksudkan?” la tetap berkata, “Wahai syekh, kasihanilah aku, karena cobaanku sangat berat!” Aku pun mengulangi pertanyaan, “Wahai fulan, apakah cobaan yang Anda maksudkan itu?” la menjawab, “Aku telah kehilangan bencana, kemudian setelah itu dibarengi dengan kesehatan (afiat). Sementara engkau tahu, bahwa hal ini adalah cobaanan yang sangat berat.” Khair an-Nassaj berkata: Si fakir itu telah di bukakan sedikit kenikmatan dunia.
Abu Turab an-Nakhsyabi - rahimahullah - berkata, “Jika berbagai kenikmatan telah melimpah pada salah seorang di antara kalian maka hendaknya ia menangisi pada dirinya. Sebab la telah menempuh jalan yang tidak ditempuh orang-orang saleh.”

Saya mendengar al -Wajihi - rahimahullah - berkata: Bunan al-Hammal dibawakan uang sejumlah seribu dinar yang dituangkan di depannya. Kemudian Bunan berkata pada orang yang menuangkan uang tersebut, “Bawalah kembali dan ambillah uang itu. Demi Allah, andaikan di atas uang tidak ada tulisan nama Allah niscaya sudah aku kencingi. Kemilaunya telah banyak menipuku.”

Al Wajihi berkata: Suatu ketika Bunan al-Hammal diberi kenikmatan duniawi berupa uang empat ratus dinar. Saat itu ia sedang tidur. Mereka meletakkannya di atas kepalanya. Kemudian Bunan mimpi seakan-akan ada orang berkata, “Barang siapa mengambil dunia lebih dari kadar yang secukupnya maka Allah akan membutakan mata hatinya.” Kemudian la terbangun, dan hanya mengambil empat daniq, sementara sisanya ia tinggalkan.

Saya mendengar Ibnu `Ulwan -rahimahullah - berkata: Ada beberapa orang membawakan uang tiga ratus dinar untuk Abu al-husain an-Nuri. Mereka telah menjual barang-barangnya untuk mendapatkan uang tersebut. Setelah menerima uang itu an-Nuri duduk di atas jembatan Sarat sambil melemparkan dinar-dinar tersebut satu demi satu ke dalam air, dan berkata, “Wahai Tuanku, dengan dinar ini Engkau ingin menipuku jauh dari-Mu.”

Dikisahkan dari Ja’far al-Khuldi - rahimahullah - yang berkata: Ibnu Zairi, salah seorang sahabat al-Junaid telah dibukakan sedikit kenikmatan duniawi sehingga la terputus dengan kaum fakir. Suatu ketika la datang kepada kami, sementara di pakaiannya terdapat kantong berisikan dirham yang cukup banyak. Ketika melihat kami dari kejauhan ia, berkata, “Wahai sahabat-sahabat kami, jika kalian sangat bangga dengan kefakiran, sementara kami bangga dengan kekayaan lalu kapan kita bisa bertemu?” Akhirnya ia melemparkan seluruh uang di kantongnya kepada kami.
Abu Said al-A`rabi berkata: Ada seorang pemuda menemani Abu Abdillah Ahmad al-Qalanisi. Kemudian selama beberapa waktu la menghilang dari al-Qalanisi. la kembali dari pengembaraannya setelah terbukakan pintu dunia dan mendapatkan harta. Kemudian kami berkata kepada al-Qalanisi, “Apakah Anda mengizinkan kami untuk datang mengunjunginya?” la menjawab “Tidak, sebab la berteman dengan kita dalam kondisi fakir. Andaikan la tetap pada kondisi semula, seyogyanya kami akan pergi mengunjunginya. Tapi apabila la kembali dari pengembaraannya dalam kondisi seperti ini maka ia yang wajib mengunjungi kami”

Abu Abdillah al-Hushri - rahimahullah - mengisahkan bahwa Abu Hafsh al-Haddad - rahimahullah - tinggal di Ramalah. la membawa dua potong pakaian usang yang di tengah-tangahnya ada uang seribu dinar. la tinggal di sana selama dua, tiga atau empat hari, dimana la tidak mau makan dari uang tersebut. Uang tersebut la berikan pada para fakir sampai habis.

Al-Hushri - rahimahullah - berkata: Di saat-saat krisis pangan kami pernah keluar bersama asy-Syibli mencari sesuatu untuk anak-anaknya. Kemudian kami masuk ke rumah seseorang dan orang itu memberinya sejumlah dirham. Kemudiankami keluar dan di kantongku telah penuh dengan dirham. Setiap berjumpa orang-orang fakir kami berikan uang itu hingga hanya tersisa sedikit. Aku berkata kepada asy-Syibli, “Tuan, anak-anak di rumah sedang kelaparan!” la balik bertanya kepadaku, “Lalu apa yang mesti aku lakukan?” Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, baru aku membeli sedikit makanan dengan sisa dirham tersebut dan kuberikan kepada anak-anaknya.

Dikisahkan dari Abu Ja’far ad-Darraj -rahimahullah- yang berkata: Suatu ketika guru aku keluar untuk bersuci. Sementara itu aku mengambil tempat yang la gunakan untuk menyimpan barang-barangnya dan kuperiksa. Ternyata kutemukan loggam perak kira-kira senilai empat dirham. Aku bingung dengan barang ini. Sementara itu dalam beberapa hari aku tidak makan apa-apa. Ketika la pulang aku berkata padanya, “Dalam tempat tuan menyimpan barang-barang, aku temukan logam perak. Sementara pada saat itu aku dalam kondisi kelaparan.” Lalu ia bertanya padaku, “Wah! Anda ambil barang itu? Tolong kembalikan!” kemudian setelah itu la berkata lagi padaku, “Silakan ambil uang itu, dan silakan Anda membelikannya sesuatu!” Kemudian aku bertanya, “Atas Nama Tuhan Yang engkau sembah, ada apakah dengan uang perak itu?” la menjawab, “Allah tidak pernah membe¬riku rezeki sedikit dari dunia, baik logam kuning maupun logam putih selain logam perak tersebut. Aku ingin berwasiat agar logam perak tersebut dikubur bersamaku saat aku mati. Sehingga ketika hari Kiamat tiba aku ingin mengembalikannya pada Allah swt. dan kukatakan, `Wahai Tuhanku, inilah sedikit dunia yang Engkau berikan padaku’.”

Wazir al-Mu’tadh pernah memberi uang kepada Abu al-Husain an-Nuri -rahimahullah- sehingga ia mau membagikannya kepada kaum Sufi. Kemudian an-Nuri menuangkan uang itu dalam sebuah rumah dan ia kumpulkan para Sufi di Baghdad. la berkata kepada mereka, “Siapa di antara kalian yang memerlukan sesuatu silakan masuk rumah ini dan ambil apa yang la inginkan.” Maka di antara mereka ada yang mengambil seratus dirham, ada yang mengambil lebih banyak, ada yang kurang dari seratus dan ada pula yang tidak mengambil apa-apa. Ketika dirham-dirham itu habis dan tidak tersisa sedikit pun maka an-Nuri berkata kepada mereka, “Jauhnya kalian dari Allah sesuai dengan kadar banyaknya kalian mengambil uang tersebut. Sedangkan dekatnya kalian dengan Allah sesuai dengan kadar kalian meninggalkan uang tersebut.”

www.sufinews.com

Rabu, 26 Februari 2014

Alam Jabarut


Bismillahirrohmanirrohiim

Oleh
Prof Dr Nasaruddin Umar
-----------------------
Alam Jabarut merupakan kelanjutan dari alam Malakut. Kedua alam ini sama-sama di dalam alam gaib mutlak. Namun, alam Jabarut berada di atas lagi. Tidak semua penghuni alam Malakut dapat mengakses alam tersebut. Hal ini membuktikan, sesama penghuni alam Malakut tidak memiliki kapasitas yang sama di mata Allah SWT.

Alam Malakut memiliki penghuni tetap, yaitu para malaikat utama, seperti Jibril, Mikail, Israfil, dan lain-lain. Alam ini lebih dekat dengan “Maqam Puncak”, yang biasa disebut Haramil Qudsiyyah.

Dalam suatu pengelompokan, lapisan-lapisan alam dan maqamnya dapat dibedakan pada beberapa tingkatan.

Dalam suatu pengelompokan, lapisan-lapisan alam dan maqamnya dapat dibedakan pada beberapa tingkatan.

Tingkatan itu adalah :

= Maqam Ahdah yang mencakup alam Lahut dan Martabat Dzat;

= Maqam Wahdah mencakup alam Jabarut dan Martabat Sifat;

= Maqam Wahidiyah mencakup Alam Wahidiyah dan Martabat al-Asma’;

= Maqam Roh yang mencakup alam Malakut dan Martabat Af’al;

= Maqam Mitsal; dan

= Maqam Insan dan alam syahadah.

Kalau alam Malakut merupakan tahap atau maqam ruhaniah dan taman jiwa yang hakiki serta senantiasa mempertahankan kesuciannya, alam Jabarut sudah masuk dalam wilayah Lahut atau berada dalam hamparan Ma’rifatullah, tempat seluruh elemen dan yang banyak menjadi satu.

Alam Jabarut sudah masuk di dalam dunia rahasia Ilahi, tetapi masih tetap wilayah alam dalam arti alam gaib mutlak. Alam Jabarut sebagai bagian dari alam gaib mutlak agak sulit dijelaskan secara skematis karena sudah masuk wilayah antara alam dan Maqam Qudsiyah.
Alam ini berada di antara wilayah aktual dan wilayah potensial yang lazim disebut dengan al-A’yan al-Tsabitah (akan dibahas dalam artikel mendatang).

Penghuni Jabarut adalah sesuatu yang bukan Tuhan dalam level Ahadiyyah, melainkan derivasinya dalam level Wahidiyat.

Dalam buku-buku tasawuf, di alam Jabarut ini berlangsung apa yang disebut sebagai Nafakh al-Ruh (peniupan roh suci Allah) yang kemudian mampu manghidupkan jasad. Itulah sebabnya alam Jabarut biasa juga disebut dengan alam roh. Di alam ini, kita juga mengenal adanya realitas kesamaran antara “sesuatu” dan “bukan sesuatu”. Juga kesamaran antara “alam” dan “bukan alam” serta antara “sifat” dan “asma”.

Di dalam alam Jabarut terjadi proses suatu keberadaan dari keberadaan potensial ke keberadaan aktual.

Alam Jabarut adalah suatu alam yang tidak umum dijangkau oleh alam-alam sebelumnya, termasuk alam Malakut.

Ini sebagai bukti, bukan hanya alam Syahadah yang mengalami tingkatan-tingkatan, tetapi alam gaib juga bertingkat-tingkat.

Sesama penghuni alam gaib tidak semuanya bisa mengakses alam Jabarut, berkenalan dengan para penghuninya, dan memahami seluk-beluk peristiwa yang terjadi di dalamnya.

Bangsa jin tidak bisa mengenal seluruh perilaku malaikat, meskipun sama-sama sebagai penghuni Malakut. Sesama malaikat pun tidak saling memahami rahasia satu sama lain. Para malaikat adalah makhluk profesional yang mengerjakan tugasnya masing-masing dan tidak saling mengganggu serta mengintervensi sebagaimana diamanatkan Allah.

Di antara para malaikat, ada malaikat utama dan keutamaannya dilihat dari perspektif manusia yang memilah fungsi-fungsi para malaikat.

Sementara itu, alam Jabarut merupakan alam paling tinggi karena di atasnya sudah tidak bisa lagi disebut dengan alam dalam arti ma siwa Allah.

Di atasnya, sudah bukan lagi alam, tetapi sudah masuk dalam wilayah Qudsiyyah. Sebagai alam paling tinggi, tentu menjadi objek cita-cita dan harapan manusia. Namun, perlu ditegaskan bahwa sebagai manusia kita tidak dituntut secara mutlak untuk memasuki alam-alam itu, namun juga tidak dilarang berupaya untuk itu.

Banyak ayat dalam Alquran yang menjelaskan martabat-martabat kehidupan spiritual manusia dan menantang manusia untuk menaiki jenjang derajat yang lebih tinggi. Alquran mencela manusia yang cenderung set back ke jenjang derajat lebih rendah (asfala safilin).

Kalau manusia sudah berupaya menaikkan status ke alam yang lebih tinggi, namun tidak bisa menembus batas-batas alam tersebut, tidak perlu khawatir dan tak perlu dipermasalahkan. Tugas manusia hanya sebagai hamba dan khalifah. Bagaimana menjadi hamba yang lebih baik dan bagaimana menjadi khalifah lebih sukses di muka bumi ini.

Urusan menembus batas atau menyingkap tabir/hijab lalu memasuki alam dan maqam lebih tinggi itu adalah urusan dan hak prerogatif Allah. Apakah Allah mau memberi petunjuk dan siapa yang akan diberi petunjuk untuk itu, semuanya merupa kan rahasia Allah.

Upaya manusia meningkatkan martabat spiritual ke jenjang lebih tinggi ditempuh para sufi dan pengamal tarekat. Namun, substansi pendekatan mereka mempunyai benang merah yang sama, yaitu manusia selalu harus melakukan pembersihan diri (tadzkiyah al-nafs) melalui berbagai “exercise” (riyadhah) dan perjuangan batin (mujahadah).

Dalam Kitab Manhalus Shafi disebutkan langkah-langkah konkret yang dilakukan para salik untuk mencapai tujuan spiritualnya. Kitab ini memperkenalkan apa yang disebut dengan ilmu martabat tujuh atau ilmu tahqiq.

Ketujuh martabat itu ialah :

- Hadratul Qudsi (puncak dari tempat penyucian diri) dan Unsi (tempat untuk bermesraan dengan Tuhan),

- Mufatahah (tempat untuk membuka rahasia Ilahi),

- Muwajahah (tempat untuk membuka hijab zulmani lalu menggunakan energi nuraniyah),

- Mujalasah (sarana untuk memisahkan dan membersihkan diri dari segala macam kemusyrikan),

- Muhadasah (tempat untuk menyingkap rahasia melalui Dirinya),

- Musyahadah (menyaksikan “wajah” Tuhan melalui seluruh alam ciptaan-Nya), dan Muthala’ah (menghayati keberadaan Tuhan melalui hidayah-Nya).
Bagi para salik yang akan menyingkap hijab dan seterusnya melaju ke alam lebih tinggi, menurut buku ini, sangat dimungkinkan. Jika seseorang mampu melewati maqam-maqam tersebut dengan baik, dipersepsikan manusia bisa mengakses alam manapun yang ia kehendaki.

Tentu saja tidak gampang mengakses maqam demi maqam yang berlapis-lapis itu. Peningkatan dari satu maqam ke maqam berikutnya terkadang ditempuh bertahun-tahun. Namun, tidak perlu berkecil hati karena jika Allah menghendaki, tentu tidak ada rintangan berarti bagi yang bersangkut an.

Memang dalam hadis tasawuf sering diungkap bahwa ada sekitar 70 ribu hijab yang menghijab manusia sehingga sulit mencapai mukasyafah (penyingkapan). Namun, tidak perlu takut dan berkecil hati, karena 100 ribu hijab pun dapat ditembus jika Allah menghendaki.

Seorang sufi mempunyai keuletan karena mempunyai tujuan bukan untuk menembus hijab itu tersingkap, tetapi bagaimana mendekatkan diri kepada Allah, tanpa target lain.

Jika ada kalangan sufi memiliki tujuan membuka hijab atau memperoleh karamah dalam pencahariannya, boleh jadi dua-duanya tidak diperoleh. Tuhannya tidak didapat dan karamahnya pun hilang.

Para sufi dan salik tidak jarang terkecoh karena terdekonsentrasi oleh hal-hal yang tidak substansi. Mereka terkecoh oleh sesuatu yang bersifat sekunder lalu meninggalkan urusan primer. Yang primer itu adalah Tuhan yang sekunder itu adalah kelezatan dalam beribadah, kepemilikan karamah di depan jamaah, dan semacamnya.

(* Banyak yang terkecoh oeh rekayasa setan. Mereka menyangka sudah bertemu dengan “Tuhan”, padahal ia adalah setan yg menyaru dan mengaku “Tuhan”. Ciri-ciri pengecohan setan itu antara lain, sifat sombong, meremehkan pelaksanaan syareat, mengabaikan Nabi Muhammad SAW sebagai penunjuk jalan yang lurus
dan lain-lain).

Mari kita mencari yang substansi dan yang primer tanpa harus terkecoh dengan yang nonsubstansi dan yang bersifat sekunder, agar mikraj kita berhasil.

Sumber: Republika

Postingan Lama